Jumat, 27 Mei 2022

Budaya Merantau Orang Bawean

    Budaya Merantau orang Bawean ~ visitbawean0.  Sama halnya dengan suku-suku lain di Nusantara. Budaya merantau Orang Bawean terutama ke Bandar Malaka dan sekitarnya berlangsung sejak bertahun tahun-tahun. Pada abad 15 dan 16 Bandar Malaka menjadi pusat perdagangan sehingga menarik minat orang Bawean untuk mencari keberentungan. 

    Pada mulanya orang Bawean merantau dengan alasan ekonomi maupun tradisi. Hingga akhirnya terjadi migrasi besar besaran ke semenanjung Malaka dan sekitarnya. Pada awal tahun 1849 jumlah populasi penduduk Bawean di Singapura berjumlah 763 dan jumlahnya terus bertambah seiring pekembangan zaman. Pada tahun 1957 jumlah populasi penduduk Bawean sudah tumbuh sebanyak 22.167 jiwa. 

    Pada mulanya para perantau Bawean tepatnya abad 19 menggunakan kapal jurusan Bawean ke Singapura yang dimiliki oleh pengusaha keturunan Palembang yang biasa dikenal dengan sebutan Kemas. Salah satu Kemas yang menetap di Pulau Bawean pada tahun 1876 bernama Kemas Haji Jamaludin bin Kemas Haji Said seorang pedagang tekstil dan bahan makanan yang cukup terkenal. 

    Mereka membayar kembali pinjamannya setelah samapai di tempat tujuan dan telah memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Sistem pinjam modal inilah yang menarik banyak penduduk Bawean untuk merantau sehingga kapal sebelumnya mengangkut penumpang dan barang, berubah fungsi menjadi kapal penumpang yang berisi para perantau asal Bawean. 

    Pada masa perang kemerdekaan pelayaran yang singgah ke Pulau Bawean mengalami gangguan akibat kolonialisme dan pendudukan Jepang. Sehingga kegiatan merantau terpaksa kembali menggunakan kapal layar tradisional yang berasal dari Madura dan Bugis.

    Sebenarnya kami sebagai penulis secara pribadi kurang setujuh jika merantau merupakan sebuah budaya atau tradisi. Karena tidak ada manusia yang ingin berpisah jauh dengan anak, istri atau suami bahkan dengan sahabat, keluarga dan sanak famili. Ibarat sebuh pepata "lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan batu di negeri orang". Hal ini pernah kami rasakan ketika saya masih kecil dulu sudah ditinggal orang tua marantau ke Malaysia. Kecemasan dan rindu terus menyelimuti sepanjang hari.

    Budaya merantau atau tradisi merantau ini amatlah sangat menyesatkan. Andai bukan karena himpitan ekonomi dan belum tersedianya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah mustahil mereka rela meninggalkan keluarga. Anehnya lagi hal ini justru di bangga - banggakan. Padahal hal itu hanya untuk menutupi ketidak mampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Bawean.  

    Semoga kedepannya lapangan pekerjaan tersedia di Pulau Bawean. Banyak dibangun pabrik - pabrik, sehingga geliat perekonomian tumbuh pesat dan orang - orang bawean menjadi sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar